Kamis, 19 November 2020



Sebagai pihak yang biasa meningkatkan kapasitas  pengurus BUMDesa, semua organ di Institusi Pelatihan harus kerap bercermin. Bukan bercermin ala narcissus yang tenggelam di danau karena mengagumi diri sendiri lewat pantulan cahaya di air jernih, namun lebih pada mawas diri apakah yang kita lakukan itu hanya sekedar kerja atau passion? Kalau sekedar kerja maka yang penting selesai, menggugurkan kewajiban. Namun kalau itu passion  ada penjiwaan dari apa yang dilakukan.Tidak penting kita merasa terjerumus pada jabatan tertentu, tetapi lebih penting tahu ke mana arah kita akan melangkah.

Itulah sekelumit iftitah (pembuka) materi yang disampaikan oleh  Rudy Suryanto, selaku founder Bumdes.id, dalam rangkaian Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Cube Jl Parangtritis No.16, pada 19 November 2020. Sebelum sesi pertama, hadir Bapak Jajang Abdulllah,  memberi sekapur sirih pengantar FGD. Dalam arahannya, Sesbalillatfo tersebut menekankan pentingnya kemanfaatan suatu program/kegiatan agar tidak sekedar sent namun harus dipastikan delivered . Maka keharusan  ASN menjadi jabatan fungsional,  adalah alternatif dalam menjawab persoalan kemanfaatan.


 

Gayung bersambut dengan arahan Sesbalilatfo, Bapak Rudy Suryanto juga menyampaikan pentingnya penjiwaan dalam memberdayakan Bumdesa. Passion ini jelas lebih dari sekedar kerja. Namun lebih  pada panggilan jiwa pada  pekerjaan yang digeluti. Ini harusnya menjadi dasar dalam setiap gerak langkah ketika bersentuhan dengan masyarakat.

Menurut dosen UMY tersebut, salah satu test case apakah seseorang itu mau serius belajar BUMDesa, maka diwajibkan peserta training harus membayar. Oke itu kalau di swasta, kalau di lembaga negeri ? Perlu dipikir bersama metode agar peserta pelatihan tetap serius belajar namun juga masih menerima penyelesaian administrasi, akomodasi dan kenikmatan lainnya.

Ke depan tantangan Pengelola Bumdes tidaklah kecil. Wajib bagi pihak yang membersamai BUMDesa harus ‘selesai’ dengan dirinya. Selesai bukan berarti harus mapan dan berpengetahuan melangit. Tapi lebih pada komitmen dan sikap no thing to lose.



Di hadapan 24 peserta yang semua hitam (atributnya), Rudy Suryanto menambahkan, ada empat tantangan utama yang dihadapi oleh pengurus  BUMDesa. Pertama,  pemasaran produk. Banyak Bumdes yang bisa berproduksi  namun kadang kesulitan dalam hal pemasaran. Bisa jadi karena kualitas produk, kemasan ataupun jaringan.

Kedua, kelembagaan Bumdes yang belum selesai.  Dukungan Kepala Desa menjadi faktor utama dalam gerak langkah BUMDesa, disamping legalitas pendirian Bumdesa dalam musyawarah desa yang ditetapkan dalam Peraturas Desa. Terbaru, penetapan BUMDes sebagai badan hukum di UU Cipta Kerja, menjadi peluang sekaligus tantangan BUMDes nantinya.

Ketiga, pertanggungjawaban. Tidak hanya ASN yang takut beresiko dengan hukum, Pengelola BUM Desa pun dibayang-bayangi beurusan secara hukum. Bukan tanpa sebab, penyertaan modal awal BUMDesa yang diambilkan dari Dana Desa (APBN) tentu menuntut pertanggungjawaban yang tertib dan transparansi. Di satu sisi pengelola BUMDesa merasa belum cukup ilmu dalam hal  pelaporan dan pertanggungjawaban.

Keempat, teknologi informasi. Di era 4.0 menutut Pengelola BUMDesa melek teknologi. E-Commerce menjadi konsekuensi dari perubahan zaman. Cara-cara pemasaran konvensional harus bersanding pula dengan pemasaran secara elektronilk. Bisa melalui sosmed maupun market place. Tidak juga latahharus membuat aplikasi, namun lebih penting memanfaatkan teknologi ynag sudah ada secara efektif dan efisien.

Nah di situlah ladang amal bagi Institusi Pelatihan, termasuk didalamnya Fungsional Penggerak Swadaya masyarakat (PSM), bersinergi membantu menyelesaikan tantangan. Pada aspek pemasaran, dia bisa berperan bisa menghubungkan kebutuhan pasar atau memperbaiki kualitas produk dan kemasan. Pada aspek kelembagaan, dia bisa menjadi evaluator dan pengarah bagaimana ‘menyelesaikan’ kelembagaaan sesuai Permendesa 4 tahun 2015. Pada aspek pertanggungjawaban, dia bisa pengarah sekaligus bisa menggandeng BUMDesa yang mempunyai tatakelola/ administrasi yang baik.  Pada aspek teknologi informasi, maka dia bisa menjadi fasilitator bagaimana menjenamakan (branding)  dan menjual produk secara elektronik.

Ibarat lilin, jangan sampai kita bisa menerangi  orang lain namun lambat laun akan kehabisan energi. Up grade pengetahuan harusnya menjadi santapan rutin agar pihak yang bergelut dalam urusan peningkatan kapasitas BUMDesa semakin berdaya. Ini penting, agar bisa turut menyelesaikan tantangan Pengurus BUMDesa harus berpengetahuan dan berketerampilan secara mendalam, tidak sekedar tahu kulit tetapi juga isi. Meminjam Amarzan Lubis, sudah saatnya kita tidak merasa tahu segala sesuatu, tetapi harus segala tahu tentang sesuatu. Entah itu urusan siapa ? (azs)